Kucing & Toko Roti
Kucing itu melihatku melalui jendela, warna orangenya mengingatkanku dengan kucing barbar yang ada di internet. Aroma roti yang baru dipanggang selalu enak untuk dinikmati, tak lama aroma yang kuhirup perlahan bercampur dengan sebuah aroma parfum yang akan selalu aku ingat. "Wah kamu udah datang duluan ya", ucap wanita itu. Namanya Laura, kami berkenalan melalui sebuah Dating App. Sambil memilih-milih menu dia bertanya ke pelayan toko "Di sini enggak ada yg rasa sarikaya ya?", "Rasa sarikaya di sini enggak ada kak", jawab si pelayan toko. Akhinya Laura memilih beberapa roti coklat, aku juga memesan roti yang sama dengan yang dipesan Laura. "Kamu suka sarikaya?", tanyaku. "Hmm suka-suka aja, tapi tadi nyari sarikaya karena inget Papah, dia selalu suka selai sarikaya", jawabnya. "Kayaknya kamu sama papah kamu dekat ya?", tanyaku lagi. "Enggak juga, aku lebih dekat sama Mamah aku", jawabnya. Tak lama kemudian pelayan itu mengantarkan pesanan kami dan kamipun berbincang-bincang tentang masa kecil kami sambil memakan roti itu.
15 menit lagi film yang akan kami tonton akan dimulai, kamipun keluar dari toko roti itu. Tepat di dekat jendela seekor kucing menghampiri Laura, kepala kucing itu mengelus-elus kakinya. Laurapun membalas elusan itu dengan mengelus kepala kucing itu, kemudian dari tas kecilnya ia mengeluarkan sebungkus makanan kucing berwarna ungu dan memberi makan kucing itu. "Kamu selalu bawa makanan kucing di tas kah?", tanyaku. "Hmmm, kalo lagi inget aja, kadang ketika ke minimarket lalu liat makanan kucing, aku beli", jawab Laura.
Setelah memberi makan kucing itu kamipun melanjutkan perjalanan kami menuju Bioskop, di perjalanan aku bertanya kepadanya "kamu di rumah pelihara kucing?", "aku punya dua kucing di rumah, namanya Oliv dan Olav, lucu kan namanya, kalau kamu punya peliharaan juga?", tanya Laura sembari tersenyum. "Dulu aku sempat pelihara kucing, namanya Beatrix. Cuman dia udah meninggal setahun lalu", jawabku. "Hmmm sayang juga ya, sekarang udah enggak pelihara kucing?", tanyanya. "Untuk sekarang enggak, mungkin nanti bakal pelihara lagi, dan mungkin namanya Oliv dan Olav", jawabku sambil tersenyum.
Di bioskop kami menonton sebuah film karya Wregas Bhanuteja dengan judul "Budi Pekerti". Di pertengahan film aku melihat mata Laura seakan penuh cahaya, senyumnya melebar sembari menggelengkan kepala. Kemudian dia melihat notifikasi di jam tangannya, cahaya yang ada di matanya tadi mulai redup. Terlintas di benakku untuk menanyakan keadaannya tapi tak lama, dia menghela nafas dan fokus kembali ke filmnya.
Lampu-lampu di studio mulai menyala dan kamipun beranjak dari kursi menuju ke luar, "Wah gila bertubi-tubi banget konfliknya, dan relate banget ya sama keadaan pas pandemi waktu itu", komentarnya terhadap film itu. "Kamu suka filmnya?", tanyaku. Dengan mata yang berbinar-binar dan senyumnya yang melebar dia menjawab "Suka banget!!! aku suka ceritanya, hal yang sebenarnya kecil aja tapi karena internat + netizen yang budiman semuanya berubah. Aku seneng banget si kamu ngajak aku nonton film ini", ucapnya. "Film ini banyak dapet nominasi dan bos aku juga rekomendasiin film ini, jadi ya mumpung ada waktu aku ajak kamu nonton juga".
Setelah dari bioskop aku mengajaknya mampir ke Toko Buku. Sambil aku mencari buku yang mau aku beli dia bertanya "Kamu suka baca buku?", "Hmmm mungkin iya dan mungkin enggak, mungkin ia karena aku bisa nikmatin waktu ketika baca buku dan buku yang aku baca ternyata enggak satu atau dua buku. Mungkin Enggak, karena aku enggak sesering itu baca buku, ada buku yang aku butuh waktu lebih dari setahun untuk nyelesainya padahal cuman 300 halaman, jadi yaaa kadang aku bingung jawabnya, apakah aku suka baca buku atau enggak", jawabku. "Kalau kamu, suka baca buku enggak? atau mungkin pernah baca Novel semacamnya?", tanyaku. "Aku enggak sih, tapi aku suka baca komen hehe. Kalau Novel dulu aku sempat baca judulnya Layla & Majnun cuman ya sekilas aja baca-baca halaman pertama dan enggak lanjut lagi", jawabnya. "Layla & Majnun aku baca juga, bagus kok. Kata-kata yang dirangkai di buku itu indah banget. Cuman kayaknya cinta yang digambarkan di buku itu di jaman sekarang udah enggak relevan atau enggak ada atau jarang mungkin", "Enggak ada gimana maksudnya?", "Orang yang percaya dengan cinta layaknya Layla & Majnun mungkin udah jarang, di buku itu Cinta digambarkan sebagai sesuatu yang sangat beracun, di jaman sekarang juga mungkin masih sama seperti itu, tapi sekarang sudah terbentur dengan realita, sekarang orang-orang udah mulai concern dengan issue seperti financial, feminisme, mental health dan hal-hal semacam itu. Dan itu bagus, artinya mungkin orang-orang lebih pintar aja sekarang", "Kamu tau enggak Majnun itu artinya apa?", tanyaku. "Enggak, emang apa artinya?", "Majnun itu olokan untuk menyebut orang itu gila atau bodoh semacamnya. Nama asli karakter dari si Majnun itu Qais. Jadi sebenarnya Layla & Qais, tapi yaaaaa karena cinta, Qais dipanggil si Majnun. Kalau kamu mau tau gimana kisah cinta mereka ya baca bukunya hehe".
Setelah dari Toko Buku kami pergi ke KFC, kami memesan menu ayam goreng. Aku melihat kening Laura mulai berkeriput seakan banyak pertanyaan yang ia simpan, tak lama dia bertanya "Jadi kamu tu termasuk orang yang enggak percaya cinta?", tanyanya. "Hmmm, dulu mungkin ia, sekarang sepertinya enggak", jawabku. "Kenapa sekarang jadi enggak?", "Ini lumayan klise si, dulu aku pernah jatuh hati, pandangan pertama. Mungkin waktu itu aku bisa mengerti apa yang dirasakan Majnun terhadap Layla, bagaimana rasanya melihat pujaan hati, seakan semua hal hanya tertuju padanya, semuanya membisu, dunia seakan berhenti sejenak hanya untuk memperjelas langkah kakinya", ucapku sambil melihat ke arah meja kosong seolah tatapanku juga kosong. "Aku tebak, akhirnya bertepuk sebelah tangan", ujar Laura, matanya melebar, mencoba menangkap setiap detial ucapanku. "Betul, 5 tahun aku mendambakan dia tapi yah gitulah", "hmm kebayang sih, PDKT selama itu kalau misalkan akhirnya kamu sama dia, dan kalau aku jadi dia, mungkin aku bakal di-treat sangat amat baik sama kamu, tapi dengan kamu bilang udah enggak percaya cinta setelah kejadian itu, artinya kamu belum move on dong?".
"Udah kok, dan rasanya sangat membahagiakan, dulu aku pernah di titik di mana semua yang aku lihat berasa suram, waktu itu aku mulai nerima kenyataan kalau dia memang enggak bisa sama aku, pahit banget si rasanya. Tapi ada satu hari di mana waktu itu aku bangun pagi, setengah 6. Aku biasanya bangun jam setengah 8, jadi aku tu selalu melewatkan waktu matahari terbit, tapi enggak pada hari itu. Ketika aku bangun rasanya lega banget, bayangin kamu tu tenggelam dan akhirnya kamu bisa nafas lagi di permukaan. Rasanya lega, dan aku tentunya pergi ke teras kemudian hirup udara segar, dan untuk pertama kalinya pada masa itu, aku bangun pagi plus lihat matahari terbit".
"Nah, yang mungkin membuat aku enggak percaya cinta, itu karena aku berfikir kalau aku udah enggak bisa ngerasain cinta yang sedalam itu lagi. Aku coba Dating App, beberapa kali aku match dan aku enggak ngerasain cinta, ditambah energi yang aku habiskan untuk kenalan itu enggak sedikit, melelahkan. Tiap kali match mau enggak mau akan mengulangi percakapan yang sama, repetitive".
"Hmm kamu tau itu melelahkan dan repetitive tapi kamu masih pakai, dan sekarang kamu ada di sini sama aku, yang mana kita kenal lewat Dating App, kenapa masih pakai Dating App?", tanyanya.
"Harus aku akui, aku ngerasa kesepian, banyak film, series yang aku tonton & game yang aku mainkan, dan kadang buku yang aku baca. Itu semua ternyata enggak cukup untuk ngisi sesuatu yang kosong di diri aku. Jadi ya itulah kenapa aku masih pakai Dating App walaupun aku tau itu melelahkan".
"Boleh aku ramal?", tanya Laura.
"Apah?", jawabku.
"Aku ramal nanti kamu bakal jatuh cinta sama aku", ucap Laura, senyumnya melebar lebar, tubuhnya santai dan bahkan sedikit bersandar, menunjukkan bahwa dia merasa nyaman dan percaya diri mengucapkan itu.
"Dilan, hahaha", kataku sambil tertawa mendengar ucapan itu darinya."Ia, aku bakal menantikan momen itu".