Kusiram air di atas kepalanya

Aku masih teringat bagaimana pertama kalinya aku berjumpa dengannya. Saat itu waktu terasa berhenti seketika, mataku terpana seakan aku melihat sebuah rahasia. Sebuah permata surga yang selama ini bersemayam di dunia ternyata ada di dekatku, betapa bodohnya aku tak menyadarinya, siapakah sosok wanita itu sebenarnya? Wanita yang mencuri pandanganku sampai aku buta karenanya. Mataku sudah tak bisa membedakan mana dunia dan mana taman surga, mataku hanya tertuju padanya sosok bidadari yang kusiram air di atas kepalanya. 

Aku malu untuk mengakuinya, tapi yang aku rasakan itu mungkin cinta. Cinta yang membuat keluarga saling terikat, cinta yang membuat seorang hamba sujud berlinang air mata, cinta yang membuat dunia yang fana menjadi indah dan bermakna. Mungkin hanya aku yang merasakan cinta pada saat itu, bagaimana dengannya? Apakah dia merasakan hal yang sama? Sosok apa yang dia lihat pada diriku saat itu? Di mana ia tinggal? Siapa ibunya? Siapa namanya? Pertanyaan itu terus muncul di benakku, sampai akhirnya aku mendapatkan kontaknya. 

Sejatinya aku bukanlah seorang pecinta. Tidak berani untukku mendekati seorang wanita, apalagi menanyakan namanya. Aku bisa mengetahui namanya dari seorang kenalan, aku tanyakan nama bidadari itu kepadanya dan akhirnya aku bisa mengetahui namanya. lega rasanya, hangat hatiku bisa mengetahuinya. kepalaku terus mengulang-ulang namanya agar tak lupa. namanya sangat indah, pertama kalinya aku mendengar nama itu di telingaku. cantik parasnya, cantik juga namanya, bidadari mana yang tak iri kepadanya? 

Tiap hari aku selalu datang pagi. beruntung pada saat itu kelasku ada di lantai satu di atas lobi, tiap pagi aku selalu bisa melihatnya berjalan melalui pintu gerbang depan. Langkahnya selalu aku perhatikan, tak pernah bosan aku melihatnya. kadang aku mendapat kesempatan untuk melihatnya menoleh, tersenyum, tertawa bersama temannya, kadang aku pernah melihat wajah suramnya. Percayalah ekspresi apapun yang dia perlihatkan hanya akan membuatku hanyut ke dalam emosinya. Apa yang dia rasakan? Apa yang sedang menimpa dirinya? Mungkin aku adalah seorang yang buruk dalam hal cinta, tak bisa aku seperti mereka yang mudahnya berbicara dengan wanita, jarang sekali aku berkomunikasi dengannya tapi aku rasa dia sadar bahwa aku menyukainya. 

Ketika kami sudah tidak di kota yang sama. Ketika semua teman-teman sudah berpisah, ketika aku tau bahwa sudah tak bisa tiap pagi aku melihatnya, rasanya tak ingin aku melepasnya. Apapun akan kulakukan agar komunikasiku tak terputus dengannya. Sejak saat itu aku mengiriminya hadiah tiap tahunnya, kadang ketika hari perayaan aku mengiriminya hadiah juga. Ada sebuah pesan yang tak tertulis dari tiap hadiah itu sebenarnya "Aku masih di sini".

Belakangan aku mengiriminya makanan manis, sebelumnya sebuah busana, aku takut jika pada akhirnya nanti ia enggan untuk mengenakannya. Ide makanan manis itu sebenarnya aku dapat dari nenekku, sebelumnya memang tak pernah terpikir olehku. Nenekku dulu menceritakan ketika dia memberi hadiah kepada seorang teman, aku lupa persisnya seperti apa yang dikatakan nenekku tapi intinya "Pakaian, atau cenderamata itu bisa dikenang, ketika orang itu mengenakan atau menggunakannya ia bisa mengenangnya dan mengingatkannya pada kita, jika makanan tidak bisa karena habis dimakan". Aku takut jika dia bersama pendamping lain ia enggan mengenakan pemberianku, jadi aku pikir makanan manis tidak akan membebaninya.

Cerita ini bukanlah sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang hanyut terbawa arus cinta, bukan juga cerita tentang bersatunya belahan jiwa. Aku ingat patah hati terhebatku. Dihari ulang tahunnya, aku mengiriminya sebuah busana dan juga sebuah buku. Buku itu aku tulis untuknya, buku itu yang akan menggantikanku berbicara kepadanya, buku itu yang akan menjadi utusanku, buku itu yang akan menceritakan ceritaku serta isi hatiku. 

Lemas rasanya, gemetar tanganku, hilang semua tenagaku seakan perlahan sari-sari hidupku tersedot keluar dari tubuhku, suram semua penglihatanku. Sebenarnya sudah tak kaget untukku jika ini akan terjadi, bisa kuduga memang kemungkinan ini akan terjadi, tapi tak kusangka rasanya akan sehebat ini. Mengingatnya saja membuatku tertawa, lucu rasanya jika diingat. 

Ada satu hal yang tak kuduga akan terjadi, keesokan paginya ayahku mengajakku makan bubur ayam langganan kami, setelah duduk dan memesan Ayahku bertanya padaku "Kevin, kamu kenapa?", "Enggak apa-apa" jawabku, kaget sekali sebenarnya mendengar pertanyaan itu keluar dari bibir ayahku, seakan ayahku tau bahwa suasana hatiku sedang layu. apakah itu terpancar dari raut wajahku? 

Aku pikir sebenarnya itu akan menjadi akhir ceritaku, ketika dia bilang bahwa dia telah memiliki seorang pria yang dia cintai. Sudah kurelakan dia, aku pikir ini memang yang terbaik, mau bagaimanapun keputusan akhirnya ada padanya, siapapun pendampingnya, pria pilihannya adalah yang terbaik untuknya. 

Selang satu bulan, saat itu aku sedang berada di kampung sedang berlibur. Tempat yang cocok untukku mengembalikan semangatku. Saat tiba di kampung, aku mendapat sebuah pesan darinya, pesan yang jarang sekali aku dapatkan, pesan yang dulu aku pernah dambakan, kenapa pesan itu baru datang sekarang? 

Singkatnya dia membutuhkan bantuanku, ada satu mata kuliah yang sulit untuknya dan kebetulan berhubungan dengan latar belakangku. Lelaki mana yang tak ingin dibutuhkan? Lelaki mana yang tak ingin membantu wanita pujaannya? Lelaki mana yang tak ingin menjadi pahlawan di ceritanya? Senang rasanya bisa dibutuhkan olehnya. 

Hilang seketika semua retakan pada hatiku, aku bertanya padanya apakah aku masih bisa mengiriminya hadiah seperti sebelumnya? Dia jawab ia, dia tidak keberatan menerima hadiah dariku seperti sebelumnya. Oia, sebagai tanda terima kasihnya dia mengirimiku sebuah busana, sebuah kemeja dan secarik kertas bertuliskan ucapan terima kasihnya karena telah membantunya.

Ini akan menjadi babak terakhir dari cerita ini. Sebuah babak yang menjadi penentu pena sang maha kuasa. Ceritanya terjadi tahun lalu, aku akui bahwa aku tergila-gila padanya. sejak awal aku bertemu dengannya dunia begitu berwarna, tak kusangka akan selama ini aku menyukainya. 

Tapi harus aku akui juga tiap malam dialah yang membuat tidurku terganggu. Dialah yang menghantui pikiranku, dialah yang membuatku tidur tengah malam, dialah yang membuatku bertanya-tanya "Apakah dia merasakan apa yang aku rasakan?", "Kenapa dia tidak menghubungiku, mengirimiku pesan, ataupun ucapan selamat malam", "Apakah dia sudah menemukan orang lain?", "Apakah ada kesempatan untuk bisa bersamanya?", "Seperti apa pria idamannya?", "Sedang apa dia sekarang?". 

Tiap malam pertanyaan-pertanyaan itu muncul di kepalaku, selama beberapa tahun belakangan pikiranku digerogoti oleh pertanyaan-pertanyaan itu. Jika kamu pikir cinta itu indah, memang benar itulah kenyataannya tapi saat engkau terjun ke dalamnya kamu akan sadar bahwa kamu tidak bisa berenang melewatinya. Yang bisa kamu lakukan hanyalah tenggelam kedalamannya sampai tidak sadar bahwa kamu telah tercekik olehnya. 

Aku tidak ingin tenggelam, aku tau bahwa aku tidak bisa berenang, aku ingin pegang kendali atas diriku, aku tak ingin menjadi seorang Majnun yang menjadi gila karena cintanya kepada Layla, sayangnya tak ada Layla pada dirinya, hanya aku seorang yang merasakan cinta.

Dan pada puncaknya. Ketika ulang tahunnya, aku memberinya hadiah seperti biasa namun kali ini aku ingin mengakhirinya. Aku tak ingin menjadi kapal yang terombang-ambing di lautan, aku harus pegang kendali atas diriku. 

Setelah dia menerima pemberianku, aku mengirimkan sebuah pesan. Sebuah pesan yang mungkin bisa mengakhiri ini semua, sebuah pesan yang bisa menarikku dari dasar lautan. Singkatnya aku katakan padanya bahwa aku tidak bisa berhenti untuk menunggunya, aku tak bisa berhenti untuk berharap padanya, aku tak bisa berhenti untuk menyukainya. Jika kamu ingin aku berhenti tolong katakan saja, aku akan berhenti saat itu juga. 

Kemudian dia menjawab pesan itu. Dia meminta maaf, dia memintaku untuk mengubur dalam-dalam perasaanku itu, dia khawatir jika terus aku pendam, itu hanya akan menyakitiku, dia juga bilang bahwa selama ini dia sudah mencoba untuk menyukaiku namun tidak bisa.

Lega rasanya mengetahui itu. akhirnya aku terbangun dari tidur panjangku, akhirnya aku bisa naik ke permukaan menghirup udara pagi hari yang sebelumnya selalu aku lewati, mungkin kalian pikir aku akan patah hati, aku akan jatuh sakit, aku akan mengurung diri, namun yang aku rasakan pada saat itu hanyalah perasaan lega, lega bisa mengetahui perasaannya, lega bisa mengakhiri ini semua.

Memang harus aku akui ada perasaan luka namun ini tidak seberapa dibandingkan dengan waktu aku mengirimnya tulisanku, ketika dia bilang bahwa dia sudah memiliki pasangan, saat itulah hancur hatiku, saat itulah patah hati terhebatku. 

Apakah aku menyesal? Tentu saja tidak, aku senang bisa menyukaimu, senang rasanya tiap pagi bisa melihatmu, senang rasanya bisa mengirimimu hadiah tiap tahunnya, senang rasanya bisa membantumu, tidak mungkin aku menyesalinya, yang aku dapatkan dari perasaan ini adalah kedewasaan hati. Terima kasih karena telah terlahir ke dunia ini, terima kasih karena telah menerima pemberianku, terima kasih karena telah menjadi wanita pujaanku. 

Jika aku punya kesempatan untuk berjumpa denganmu, tidak ingin aku menemuimu, karena sudah tidak ada alasan untukku bertemu denganmu, jika kamu berpapasan denganku jangan ragu untuk menyapaku, aku akan menyapamu kembali sepenuh hatiku.