Budgeting dan Rezeki Anak

Kamu mungkin pernah mendengar istilah “rezeki anak”. Sepasang suami istri yang ekonominya cukup untuk mereka berdua saja baru saja dikaruniai seorang anak. Di satu sisi, mereka bahagia dengan kelahiran sang anak. Di sisi lain, mereka khawatir bagaimana memenuhi kebutuhan anak ini. Lalu salah satu dari mereka berkata, “Pasti ada jalan, anak punya rezekinya sendiri.”

Orang tua yang baik tentu akan mengusahakan apa saja agar sang anak bisa tumbuh dengan baik. Entah mencari pinjaman untuk membeli susu atau bekerja lebih keras, bahkan yang tadinya bekerja satu kali menjadi dua kali atau lebih demi memenuhi kebutuhan sang anak. Ini mungkin yang sering disebut “banting tulang”.

Perlahan kebutuhan sang anak mulai terpenuhi, dari susu, pakaian, makanan, hingga mainan. Suatu ketika, anak ini mencium tangan kedua orang tuanya lalu berkata, “Pah, Mah, aku berangkat ke sekolah dulu ya.”

Kemudian kedua orang tua ini mengenang bagaimana mereka membesarkan sang anak. Mereka tentu tidak menyangka bisa berhasil membesarkan seorang anak. Pada awalnya, mereka khawatir tidak dapat memenuhi kebutuhan sang anak. Lalu kemudian mereka berkata, “Benar ya, anak itu punya rezekinya sendiri.”

Dari cerita di atas, mungkin sebagian besar dari kita bisa relate. Dan mungkin kita akan bisa sepakat kalau “rezeki anak” itu adalah satu mindset (pola pikir) atau mungkin salah satu bentuk tanggung jawab.

Kenapa? Dari cerita di atas, ketika anak ini lahir, jika orang tua tidak mencari pinjaman dan tidak bekerja lebih keras lagi, mungkin sebagian besar kebutuhan sang anak tidak terpenuhi. Apakah artinya rezeki anak ini memang kurang? Tapi karena orang tua ini adalah orang tua yang baik dan bertanggung jawab, mereka banting tulang untuk memenuhi kebutuhan sang anak.

Mungkin sampai di sini kita bisa mulai saling memahami. Sekarang kita coba ubah sedikit mindset tersebut. Kalau dari cerita di atas “rezeki anak” atau mindset itu muncul ketika anak ini lahir atau saat sang ibu sedang mengandung, bagaimana kalau rezeki anak ini kita siapkan bahkan sebelum anak ini lahir? Atau dengan kata lain, “Bagaimana kalau kita jemput rezeki anak sebelum anak ini lahir?” Di sinilah budgeting diperlukan.

Sebelum anak ini lahir atau sebelum punya anak, kita hitung berapa kira-kira biaya yang diperlukan untuk persalinan, susu, makanan, pakaian, dan kebutuhan lainnya. Ketika kita punya angkanya, kita siapkan dananya dan kita tabung. Agar tabungannya dapat terpenuhi lebih cepat, kita bekerja lebih keras untuk menjemput rezeki anak lebih cepat.

Saya pribadi adalah orang yang berusaha untuk budgeting, dan merasakan manfaatnya. Tulisan ini hanya buah pikir yang saya coba tuangkan dalam tulisan. Tiap orang punya pandangannya masing-masing, belum tentu yang saya terapkan pada diri saya berhasil untuk orang lain.